MENGELOLA KESUBURAN TANAH DI LAHAN MARGINAL
MENGELOLA KESUBURAN TANAH DI LAHAN MARGINAL
Lahan Marginal
Sumber daya lahan merupakan salah
satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu sistem usaha pertanian,
karena hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumber daya lahan. Lahan
adalah suatu wilayah daratan dengan ciri mencakup semua watak yang melekat pada
atmosfer, tanah, geologi, timbulan, hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan,
baik yang bersifat mantap maupun yang bersifat mendaur, serta kegiatan manusia
di atasnya. Jadi, lahan mempunyai ciri alami dan budaya (Notohadiprawiro,
1996).
Lahan marginal dapat diartikan
sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor
pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu. Sebenarnya faktor
pembatas tersebut dapat diatasi dengan masukan, atau biaya yang harus
dibelanjakan. Tanpa masukan yang berarti budidaya pertanian di lahan marginal
tidak akan memberikan keuntungan. Ketertinggalan pembangunan pertanian di
daerah marginal hampir dijumpai di semua sektor, baik biofisik, infrastruktur,
kelembagaan usahatani maupun akses informasi untuk petani miskin yang kurang
mendapat perhatian.
Untuk mengetahui apakah suatu
lahan termasuk marginal jika digunakan untuk buidaya pertanian dapat dilakukan
evaluasi kesesuaian lahan. Semakin banyak sifat tanah yang memiliki harkat
tidak sesuai, menunjukkan lahan tersebut marginal. Teknologi dan masukan yang
diterapkan pada suatu lahan dapat mengubah sifat tanah sehingga harkatnya
menjadi lebih sesuai untuk pertanian.
Sifat fisika
Tanah
marginal dicirikan oleh tekstur tanah yang bervariasi dari pasir hingga liat.
Hal tersebut dikarenakan batuan sedimen masam di Kalimantan terbentuk dari dua
macam bahan induk tanah, yaitu batu pasir yang bertekstur kasar dan batu liat
atau batu lanau yang bertekstur halus.
Adanya keragaman tekstur tanah
yang cukup besar pada tanah marginal dari batuan sedimen masam akan sangat
memengaruhi sifat fisik, kimia, maupun sifat mineraloginya sehingga memerlukan
kehati-hatian dalam pengelolaan tanahnya. Tanah bertekstur kasar dicirikan oleh
kemampuan meretensi air dan hara yang rendah sehingga tanah rawan kekeringan
pada musim kemarau dan pencucian hara atau basa-basa dapat tukar secara
intensif pada musim hujan. Sebaliknya, tanah bertekstur halus umumnya dicirikan
oleh permeabilitas tanah yang lambat.
Sifat kimia
Kondisi
reaksi tanah yang demikian menjadikan tanah-tanah marginal sering digolongkan
sebagai tanah masam. Rendahnya reaksi tanah ini akan berdampak pada
meningkatnya kandungan Al yang bersifat toksik terhadap tanaman, selain
mempengaruhi ketersediaan P karena P terfiksasi dalam bentuk Al-P. Yatno et
al. (2000) mengemukakan bahwa selain Al, Fe-bebas sehingga akan berpengaruh
terhadap ketersediaan P. Kandungan Fe-bebas cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya kedalaman tanah. Anda et al. (2000) mengemukakan bahwa
semakin lanjut perkembangan tanah, semakin meningkat retensi P yang disebabkan
oleh meningkatnya Fe-oksida.
Tanah marginal secara
alami memiliki kandungan hara P maupun K yang sangat rendah. Hal ini berkaitan
dengan susunan mineral atau cadangan mineral tanah marginal yang didominasi
(dalam Suharta, 2010) oleh kuarsa dan oksida (ilmenit, magnetit, dan rutil) dan
sangat sedikit mineral sumber hara lainnya.
Kandungan basa-basa dapat tukar
(Ca, Mg, K, dan Na) pada tanah marginal tergolong rendah sampai sangat rendah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tanah marginal telah mengalami pencucian lanjut
dan atau tanah berasal dari bahan induk miskin basa. Kandungan basa dapat tukar
pada horison A lebih tinggi dibandingkan pada horison B di bawahnya. Suharta
dan Prasetyo (2008) mengemukakan bahwa kandungan basa dapat tukar pada horison
A, walaupun tergolong rendah sampai sangat rendah, secara absolut lebih tinggi
dibandingkan pada horison B di bawahnya. Hal tersebut menunjukkan telah terjadi
siklus biologis oleh tanaman yang mengangkut unsur hara melalui daun, ranting,
dan sisa tanaman lainnya, kemudian dikembalikan ke permukaan tanah atau dekat
permukaan tanah mineral sebagai sampah (Quideau et al. 1999).
Masalah Tanah Marginal
Pada Sifat-Sifat Tanah
Permasalahan umum pada
tanah marginal (Suharta, 2010) lahan kering dari batuan sedimen masam adalah
reaksi tanah masam, kandungan bahan organik rendah, ketersediaan dan cadangan
hara rendah, serta kejenuhan Al tinggi.
Tindakan
praktis untuk memperbaiki sifat kimia tanah tersebut meliputi: 1)
pengapuran untuk meningkatkan pH tanah dan mengurangi reaktivitas Al, 2)
pemberian pupuk makro maupun mikro untuk memperbaiki kesuburan tanah, serta 3)
penambahan bahan organik yang berfungsi sebagai bufer terhadap pH rendah dan
toksisitas Al melalui pembentukan khelat (Brown et al. 2008 dalam
Suharta, 2010). Penambahan bahan organik juga dapat meningkatkan stabilitas
tanah dan mendukung pengelolaan lahan sistem konservasi (Erfandi et al. 1999
dalam Suharta, 2010).
Tekstur
yang kasar memberikan pengaruh negatif terhadap kemampuan tanah meretensi air
dan hara yang rendah, serta tanah rawan kekeringan dan peka erosi. Tekstur yang
kasar juga meningkatkan laju infiltrasi serta pencucian hara dan basa-basa di
dalam tanah. Yang et al. (2008) dalam Suharta (2010) mengemukakan bahwa
tanah yang bertekstur kasar dicirikan oleh kandungan oksida Fe/Al, bahan
organik, dan kandungan liat yang rendah.
Masalah Tanah Marginal
(Masam) Bagi Petani dan Lahannya
Pada tanah masam yang
difungsikan untuk lahan pertanian, menurut pendapat petani sebagian besar
mengatakan bahwa penurunan produktivitas pertanian disebabkan oleh gangguan
hama, peyakit, binatang liar dan gulma, kebakaran, banjir, kekeringan dan
meningkatnya kebutuhan biaya produksi. Kebutuhan biaya produksi meningkat
karena kesuburan tanah menurun dan erosi sehingga kebutuhan akan pupuk
bertambah banyak. (Hairiah et al., 2000).
Lebih lanjut Hairiah et al., 2000 menjelaskan bahwa permasalahan
pada tanah masam mencakup 2 permasalahan yaitu : permasalahan aktual dan
permasalahan potensial.
Konservasi Tanah
Marginal dengan Cara Biologi di tingkat Petani
Upaya-upaya pengelolaan
tanah ditujukan untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan
keberlanjutan suatu sistem usaha tani, yaitu mempertahankan produksi tanaman
dari waktu ke waktu, mengontrol erosi dan mengatasi serangan hama, penyakit dan
gulma (Van der Heide et al., 1992 dalam Hairiah et al., 2000).
4.1. Pengelolaan Tanah
Masam
Pada dasarnya pengelolaan
tanah masam ditingkat masyarakat, ada tiga cara yaitu : 1) cara
kimia melalui pengapuran, pemupukan dan penyemprotan herbisida, 2)
cara fisik-mekanik melalui pengolahan tanah dan penyiangan gulma
dan 3) cara biologi melalui sistem tertutup seperti yang
dijumpai di hutan, dimana dalam sistem hutan alam memiliki siklus hara yang
tertutup, hara digunakan untuk pertumbuhan pohon diambil dari tanah melalui
cabang , ranting dan daun yang gugur.
Cara biologi inilah yang
sangat penting untuk diterapkan pada pengelolaan tanah masam, sehingga
selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dan lebih luas prinsip-prinsip
pengelolaan lahan secara biologi.
4.2. Pengelolaan Tanah Marginal dengan Cara Biologi
a. Mempertahankan
kandungan Bahan Organik Tanah (BOT)
Salah satu indikator kualitas tanah adalah kandungan bahan organik
tanah, selain indikator yang lain seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Walaupun kandungan bahan organik tanah sangat sedikit yaitu 1 – 5% dari berat
total tanah mineral, namun pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi
tanah sangat besar. Manfaat bahan organik sudah teruji kehandalannya dalam
memperbaiki kualitas tanah (Soegiman, 1982; Stevenson, 1994 dalam Suriadi et.al
2005).
Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai
kunci utama dalam mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun
biologi. Bahan organik mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan
berat volume tanah, meningkatkan permeabilitas, menggemburkan tanah,
memperbaiki aerasi tanah, meningkatkan stabilitas agregat, meingkatkan
kemampuan tanah memegang air, menjaga kelembaban dan suhu tanah, mengurangi
energi kinetik langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah
(Oades, 1989; Elliott, 1986; Puget et al., 1995; Jastrow et al.,
1996; Heinonen, 1985).
Bahan organik mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti
menurunkan pH tanah, dapat mengikat logam beracun dengan membentuk kelat
komplek, meningkatkan kapasitas pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi
tanaman (Stevenson, 1994; Tisdall and Oades, 1982).
Dari sifat biologi tanah, bahan organik tanah mampu mengikat
butir-butir partikel membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari jamur
mycorrhiza dan hasil eksresi tumbuhan dan hewan lainnya (Soegiman, 1982;
Addiscott, 2000 dalam Suriadi et al., 2005). BOT menyediakan energi bagi
berlangsungnya aktivitas organism, sehingga meningkatkan kegiatan organism
mikro maupun makro di dalam tanah. (Hairiah et al., 2000).
Untuk mempertahankan sifat kimia, fisik dan biologi tanah,
diperlukan masukan bahan 8-9 ton ha-1 setiap tahunnya (Young, 1989
dalam Hairiah et al., 2000) berikut ini beberapa cara yang dapat ditempuh untuk
mendapatkan bahan organik ;
1. Pengembalian sisa panen
Jumlah sisa panen tanaman pangan yang dapat dikembalikan ke dalam
tanah berkisar 2-5 ton ha-1, sehingga tidak dapat memenuhi jumlah
kebutuhan bahan organik minimum.
2. Pemberian kotoran hewan
Pupuk kandang berasal dari kotoran hewan peliharaan seperti sapi,
kerbau, kambing, ayam atau juga bisa kelelewar dan burung. Pengadaan kotoran
hewan seringkali sulit dilakukan karena memerlukan tenaga dan biaya
transportasi yang banyak.
3. Pemberian pupuk hijau
Pupuk hijau bisa diperoleh
dari serasah dan dari pangkasan tanaman penutup yang ditanam selama masa bera
atau pepohonan dalam larikan sebagai tanaman pagar. Beberapa jenis tanaman
pagar dari kelurga leguminosa membuktikan bahwa kaliandra memberikan hasil
biomass tertinggi dibanding jenis pohon lainnya.
Pemanfaatan Bahan Organik
Pada dasarnya kandungan
bahan organik dapat berupa mineral atau organik (Prasad dan Power, 1997).
Kebanyakan bahan organik tanah berasal dari jaringan tanaman, jaringan hewan
atau produk tanaman lainnya dan merupakan sumber nitrogen tanah yang utama,
disamping itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia,
dan biologi tanah (Puslit Tanah dan Agroklimat, 2002 dalam Suriadi et al.,
2005). Bahan organik dari sisa tanaman yang ditambahkan ke dalam tanah akan
mengalami beberapa kali fase perombakan oleh organisme untuk menjadi humus atau
bahan organik tanah.
Bahan organik tanah
(Suriadi et al., 2005) berperan penting dan merupakan faktor kunci dalam
berbagai proses biokimia dalam tanah yang menentukan tingkat kesuburan tanah
untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Selain itu bahan organik juga mampu
meningkatkan daya tanah menahan air (water holding capacity) terutama
pada tanah berpasir, menyediakan energi dalam oksida mikrobiologis, menyediakan
dan atau meningkatkan ketersediaan hara tanaman, serta menurunkan keracunan Al
pada tanah-tanah masam.
Fahmudin 1999 dalam
Suriadi et al., 2005 berpendapat bahwa sisa tanaman biji-bijian dapat
mengembalikan unsur K sampai 60% dari kebutuhan K tanaman berikutnya dan sisa
tanaman kacang-kacangan dapat menyediakan N sampai sekitar 30% kebutuhan
tanamanberikutnya.
Secara alami, tanah marginal dari
batuan sedimen masam di Kalimantan mempunyai cadangan mineral atau hara
rendah, reaksi tanah masam, serta kandungan bahan organik, P dan K, serta
basa dapat tukar rendah, tetapi kejenuhan Al tinggi. Oleh karena itu, perbaikan
sifat kimia tanah melalui pengapuran, penggunaan bahan organik, dan pemupukan
lengkap sangat disarankan untuk meningkatkan reaksi tanah, mengurangi reaktivitas
Al, dan meningkatkan hara tanah.
Cara biologi dipilih sebagai solusi yang bijak dan sangat
mungkin di terapkan oleh masyarakat, karena lebih efisien dan efektif dari segi
ekonomi, tenaga, waktu dan lingkungan.
Bahkan untuk menambah keuntungan petani, dari segi ekologi
dan ekonomi petani dapat mengintegrasikan tanaman – ternak, dalam
implementasinya konservasi lahan dan air akan terjamin keberlanjutannya jika
diintegrasikan dengan ternak (Watung et al., 2003; Subagyono et al.,
2004). Ternak dan produk sampingannya berupa kotoran ternak, baik secara
langsung maupun diolah terlebih dahulu menjadi kompos (Bokashi) merupakan
sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang diusahakan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa produk dan kandungan nitrogen
kotoran ternak cukup memadai untuk mensubstitusi unsur hara yang dibutuhkan
tanaman apabila bahan tersebut dikelola dengan baik.
Sedangkan tanaman yang digunakan sebagai bahan
konservasi lahan dan air dapat dimanfaatkan sebagai pakan hijauan yang
diperlukan untuk makanan ternak.
Daftar Pustaka
Hairiah K, Widianto, Sri
Rahayu Utami, Didik Suprayogo, Sunaryo, SM sitompul, Betha Lusiana, Rachmat
Mulia, Meine van Noordwijk dan Georg Cadisch. Pengelolaan Tanah Masam Secara
Biologi. ICRAF. Bogor
Karda IW, Spudiati, 2005. Meningkatkan
Produktivitas Lahan Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pakan dan Ternak
Ruminansia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian
Suharta Nata, 2010. Karakteristik
dan Permasalahan Tanah Marginal di Kalimantan 139-146. Jurnal Litbang
Pertanian, 29(4), 2010
Widya Nasih Y, 2009. Membangun
Kesuburan Tanah di Lahan Marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9
No. 2 (2009) p: 137-141 Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta
Suriadi Ahmad, Moh. Nazam, 2005. Penilaian
Kualitas Tanah Berdasarkan Kandungan Bahan Organik (Kasus di Kabupaten Bima).
Seminar Nasional Tahun 2005. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
Komentar
Posting Komentar